SEJARAH PONDOK PESANTREN
AL-MUBAAROK MANGGISAN
1) Nama : Pondok Pesantren “Al-Mubaarok Manggisan”
II. MUNCULNYA GAGASAN PENDIRIAN PONDOK PESANTREN AL-MUBAAROK MANGGISAN
Dalam benak KH. Nur Hidayatulloh, pada awalnya tidak terbersit
untuk mendirikan sebuah lembaga tafaqquh fiddin yang bernama Pondok Pesantren.
saat masih belajar dipesantren_pun yang menjadi target utamanya adalah mencari
ridlo Alloh SWT, menghilangkan kebodohan
dan meraih ulumiddin sebanyak-banyaknya yang berkah, manfaat dan muntafabih.
Setelah selesai belajar, atas petunjuk dan restu gurunya. Pada hari senin tanggal
08 Februari 1993 / 17 Sya’ban 1413 H di Pesantrien ia mempersunting Ny.Hj. Nur
Farida putrid KH. Ibrohim Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotuttholibin Jawar,
Mojotengah, Wonosobo. Atas kesepakatan keluarga dan seidzin gurunya, KH. Nur
Hidayatulloh diberi amanat untuk mengasuh dan mengampu Pondok Pesantren
peninggalan KH. Ibrohim itu sampai adik iparnya yang bernama K. Nur Yasin siap
menggantikan posisinya. Amanah itu dijalankan dengan baik oleh KH. Nur
Hidayatulloh mulai awal maret 1993 sampai dengan akhir Desember 1997 (empat
tahun lebih sepuluh bulan), dan setelah itu lalu tongkat kepemimpinannya
diserahkan kepada K. Nur Yasin.
Kira-kira dua tahun sebelum selesainya tugas mengasuh Pondok
Pesantren peninggalan mertuanya selesai, KH. Nur Hidayatulloh mendapatkan
isyararat dari gurunya yakni KH. Abdurrohman Ch. Pengasuh Pondok Pesantren
Tegalrejo Magelang, agar setelah selesai
menjalankan tugasnya, mau mendirikan Pondok Pesantren sendiri di tempat
lain. Isyarat seperti ini disampaikan oleh gurunya tidak hanya satu kali.
Bahkan yang terahir yaitu tanggal 04 mei 1996 secara jelas beliau dawuh “Dayat
!... ben supoyo luwih biso berkembang kowe besuk ora usah manggon nang jawar,
naliho seko jawar lan gaweho nggon ngaji dewe”.
Atas dasari isyarat dan dawuh tersebut, lalu KH. Nur Hidayatulloh
mengkomunikasikannya dengan istri dan ibu mertuanya (Ny.Hj. Nur Azizah
Ibrohim). Ketika itu terjadi dinamika dan tarik ulur, karena jauh sebelum itu
KH. Nur Huda Djazuli Pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Mojo, Kediri
sebagai guru dari Ny. Hj. Nur Farida pernah berpesan kepada KH. Ibrohim, agar
Nur Farida tidak meninggalkan jawar yakni harus hidup dilingkungan jawar untuk
memperkuat eksistensi Pondok Pesantren Roudlotuttholibin Jawar. Hal ini
kemudian menimbulkan kegalauan dalam hati Ny. Hj. Nur Farida. Apakah ikut saran
dan dawuh gurunya sendiri atau ikut dawuh guru suaminya.
Untuk mengatasi hal tersebut, KH. Nur Hidayatulloh sowan kepada KH.
Abdurrohman Ch. untuk memohon pencerahan dan arahan dari beliau. Sebagai guru
yang bijak KH. Abdurrohman Ch. memberikan respon yang melegakan dengan
mengatakan “ Yen ngono aku mengko tak mator marang Yai Dah” (nama
panggilan untuk KH. Nur Huda Djazuli).
Selang beberapa waktu, KH. Abdurrohman Ch. nimbali KH. Nur
Hidayatulloh untuk menyampaikan kabar bahwa beliau sudah bertemu dengan KH. Nur
Huda Djazuli membicarakan tentang masalah seperti di sebutkan di atas. Yai Dur
(nama panggilan KH. Abdurrohman Ch.) ngendiko”Dayat!... aku wis ketemu Yai
Dah, ngrembug masalah mu, lan Yai Dah wis marengaken kowe ngaleh seko Jawar,
ngawe nggon ngaji dewe. Kowe karo bojo_mu di timbale Yai Dah, ndang sowan”.
KH. Nur Hidayatulloh dan istripun sowan kepada Yai Dah di
Ploso, Mojo, Kediri. Yai Dah Ngendiko “Mas Dayat, Mba’ Ida !... aku wis
ketemu Yai Dur ngrembuk masalahe awakmu, lan aku wis mathuk yen awakmu keloron
metu seko Jawar nggawe pondok dewe. Gaweho pondok sek apik, umah yo sek apik,
nek iso, yen urung iso yo sak isane disik.”.
Sampai disini KH. Nur Hidayatulloh dan istri merasa lega dan plong
hatinya karena semuanya sudah clear. Keluarga
pun sudah menyetujuinya. Hanya saja Ibu Mertua (Ny.Hj. Nur Azizah Ibrohim) ngendiko,
“ Yen metu seko Jawar yo kono, wong guru kabeh wis podo ridlo, mung aku njaluk
ojo adoh-adoh seko Jawar, paling adoh limang kilo, ben tasih biso karo
nguat-nguati Jawar.
III. PROSES PENCARIAN DAN PEMBEBASAN TANAH
Sebelum melakukan transaksi, KH. Nur Hidayatulloh sowan ke gurunya untuk menanyakan apakah sawah itu layak untuk didirikan Pondok Pesantren. disamping itu pula untuk memohon restu dan arahannya. Restu dan arahan dari gurunya pun didapatinya. Sang Guru (KH. Abdurrohman Ch) memandang sawah itu layak untuk dijadikan tempat pendidikan yakni Pondok Pesantren, dan beliau memberikan arahan agar sebelum melakukan transaksi, terlebih dahulu melakukan mujahadah dan berdo’a kepada Alloh SWT, agar segala sesuatunya diberi kemudahan dan keberkahan. Atas perintah gurunya tersebut, KH. Nur Hidayatulloh pun lalu melakukan mujahadah selama beberapa hari.
Mujahadah telah dilakukan dan akhirnya cukup, lalu KH. Nur Hidayatulloh mengutus Bp. Abdul Aziz Ngebrak Kalibeber, Mojotengah adik ipar dari pemilik sawah, untuk melobi. Lobi yang dimaksud disini adalah melobi Bp. H.R. Yusuf agar ia mau tukar guling sawah miliknya yang berlokasi di manggisan dengan sawah milik Ny.Hj. Nur Farida yang berlokasi diantara desa Jawar dan Kalibeber. Pada tanggal 25 Juni 1996 Bp. Abdul Aziz barangkat ke magelang untuk sowan H.R. Yusuf membahas hal seperti tersebut di atas.
Dengan senang hati, pak Abdul Aziz menerima amanat itu. Pada hari sabtu tanggal 25 Juni 1996 ia berangkat ke magelang untuk bertemu pak Yusuf. Setelah sholat ashar, pak Abdul Aziz menemui Pak Yusuf, dan menyampaikan apa yang menjadi amanat KH. Nur Hidayatulloh, yaitu masalah tukar guling tanah sawah. Pak yusuf merespon positif dengan menucapkan “yo… yo… he eh… he eh… he eh… mengkoaku tak ngomong bocah-bocah (anak-anaknya. Red).
Berita mengejutkan, bahwa hari berikutnya, yakni hari Ahad wage jam 06.30 tanggal 26 Juni 1996 pak Yusuf di panggil oleh Alloh SWT. Berita ini sangat mengejutkan KH. Nur Hidayatulloh dan agak membuatnya cemas, karena persoalan tukar guling tanah sawah belum clear 100%. KH. Nur Hidayatulloh datang ke magelang untuk ta’ziyyah dengan membawa rombongan santri sebanyak satu bus. Setelah selesai sholat jenazah, saat KH. Nur Hidayatulloh duduk dengan beberapa tamu lain untuk menunggu upacara pemberangkatan jenazah, Pak Abdul Aziz membisiki bahwa sebelum pak yusuf sedo, sudah berpesan kepada istrinya agar rembugan masalah tukar guling sawah itu di tentukan dengan anak-anaknya.
Kesepakatan Bu Yusuf dengan anak-anak rembugan masalah tanah sawah, akan dilanjutkan setelah 40 hari dari meninggalnya pak yusuf. Namun belum genap 40 hari yakni baru ± sepuluh hari dari meninggalnya Pak yusuf, Bu yusuf mengutus putranya yang bernama wahyu untuk sowan KH. Nur Hidayatulloh menyampaikan kabar bahwa Bu Yusuf dan seluruh putra-putranya menyatakan sepakat untuk melanjutkan rembugan masalah tukar guling tanah sawah.
Pada tanggal 14 Juli 1996 KH. Nur Hidayatulloh di damping oleh Pak Abdul Azizi dari Ngebrak, kalibeber dan dari manggisan KH. Bahruddin Ahmad, H. Basyir, H. Mustangin dan Mbah Bahrun, datang ke Jambon Magelang untuk ketemu Bu Yusuf dan Putra-putranya, membahas tentang kelanjutan rembugan tukar guling tanah sawah. Rembugan tidak terlalu lama, terjadilah kesepakatan diantara kedua belah pihak. Isi Kesepakatannya antara lain :
1. Bu Yusuf sekeluarga di sebut sebagai Fihak I, dan KH. Nur Hidayatulloh sekeluarga disebut sebagai Fihak II
2. Fihak I menyutujui usulan Fihak II tentang tukar guling tanah sawah milik Fihak II yang berlokasi di antara desa Kalibeber dan Jawar dengan tanah sawah milik Fihak I yang berlokasi di Manggisan, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Setiap satu meter persegi ditukar dengan satu meter persegi.
b. Bahwa sawah milik Fihak I seluas ± 5380 m2 , sedang sawah milik Fihak II seluas ± 3340 m2 . dengan demikian, maka masih tersisa seluas 2040 m2 .
c. Sisa sawah seluas 2040 m2 yang
1040 m2 di wakafkan oleh Fihak I ke Fihak II, dan yang seribu meter
lagi di bayar oleh Fihak II dengan harga permeter 10.000,-.
Sampai
disini, tuntaslah sudah rembugan tukar guling tanah sawah antara Fihak Bu Yusuf
dengan Fihak KH. Nur Hidayatulloh.
Tanah seluas
5380 m2 itu , terdiri dari dua lokasi, sebut saja lokasi A dan B.
luas sawah berada dilokasi “A” adalah 3580 m2, sedangkan yang berada di lokasi “B” seluas 1800 m2
.
Sebagian
dari 1800 m2 itu, kemudian ditukar guling dengan sawah milik dari
istrinya slamet Nanu, yang kebetulan gandeng dengan sawah yang berlokasi di
“A”. sisa sawah yang berlokasi dilokasi “B” tinggal ± 603 m2.
Disamping
sawah-sawah tersebut di atas, KH. Nur Hidayatulloh, juga membeli sawah Pak
Misbahul seluas ± 100 m2 . sawah yang ini dibeli disamping untuk
menambah luasnya, juga untuk meluruskan batas-batas sawah yang semula
berbelok-belok. Harga permeternya Rp. 10.000,-
Kondisi sawah yang tidak rata, bagian sebelah timur posisi sawah tinggi, seelah barat dan selatan rendah (legok), banyak batu – batu besar serta bercadas itu, kemudian diratakan.
Jalan masuk yang masih berupa sawah dikalaitu, diurug dengan tanah yang dibeli dari tanah galian Pasar Induk Wonosobo yang kebetulan saati itu sedang di bangun pasca kebakaran.
Pengerjaan perataan sawah itu, dilakukan secara manual, tidak menggunakan alat-alat berat. Kerja bakti masyarakat merupakan andalan utamanya. Diantara desa-desa yang masyarakatnya ikut kerja bakti adalah :
1. Manggisan 2. Pandansari 3. Sindon 4. Sorogaten 5. Sojopuro 6. Klesman 7. Gesing 8. Sendangsari 9. Wonokromo 10. Jambu 11. Tegalsari 12. Dero ngisor 13. Menjer |
14. Gendoran 15. Larangan 16. Siwadas 17. Topengan 18. Pringapus 19. Maron 20. Depok 21. Kebrengan 22. Kejiwan 23. Mlipak 24. Kebrengan 25. Bugangan 26. Wonobungkah |
Konsumsi
para pekerja bakti selama kurang lebih lima bulan, dicukupi oleh masyarakat
manggisan, yang diaturnya dengan secara bergilir. Orang yang mengatur giliran
tersebut adalah Mbah Bahrun, sosok orang tua yang sangat gigih dalam ikut
berjuang mendirikan Pondok Pesantren. menu yang di suguhkan berfariasi, namun
yang mendominasi adalah nasi megono.
KH. Nur Hidayatulloh, yang ketika itu masih tinggal di rumah mertua dan setatusnya masih sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotuttholibin Jawar, selama bulan Romadlon, setiap malam dating kelokasi dengan membawa santri sekitar 7 sampai 15 santri untuk mujahadah dan munajat kepada Alloh SWT. Bulan syawal sebelum pembangunan dimulai, lokasinya digunakan untuk acara pengajian Halal Bihalal NU MWC Mojotengah. Dalam acara tersebut, para pengunjung disamping diberi siraman rohani, juga dimintai do’a restunya berkaitan dengan akan dibangunnya sebuah Pondok Pesantren dalam lokasi tersebut.